Kedewasaan seringkali merupakan isu yang sangat esensial untuk
dibicarakan oleh semua kalangan. Bukan karena soal ketabuan membicarakan
pendidikan sex atau kedewasaan yang jarang atau hampir punah dalam kurikulum
pendidikan kita. Melainkan karena hak individu yang perlu dihargai dalam
mengekspresikan dirinya melalui pikiran, gaya hidup, dan cara setiap orang
menyikapi segala sesuatu. Dalam soal pernikahan yang menjadi judul tulisan kita
pada hari ini, banyak orang beranggapan bahwa nikah adalah soal cinta.
Photo credit: http://finessemakeup.com/
|
Begini, menikah memang harus didasari cinta. Sebab cinta adalah
wujud materi yang menandakan, menunjukan suatu keselarasan antara kita dengan
lawan jenis. Dengan keselarasan, kesamaan, kita bisa menjalani kehidupan dengan
baik. Tapi bukan berarti menikah adalah untuk cinta atau untuk persamaan yang
kita miliki. Jika menikah, didasarkan pada cinta yang merujuk pada
kesamaan—kesamaan materi, pangkat, harta, jabatan dan lain-lain. Maka inilah
yang banyak filsuf katakan sebagai cinta yang materialistik atau dikenal
dengan paham materialisme.
Berbeda sekali dengan konsep dahulu, dimana manusia hidup dan jauh
dari kehidupan materialism, di mana keluarga dibangun dari nol secara bersama.
Mulai dari penyediaan makanan di rumah yang dilakukan melalui cocok tanam
secara bersama, istilahnya menanam bareng-bareng di sawah, lalu dipetik
sama-sama, dikonsumsi sama-sama, kelebihan pangan dijual, lalu uangnya
dibangunkan rumah, dan seterusnya, hingga mapan secara finansial, yang dewasa
ini diidentikkan dengan “kesuksesan”. Saya tidak bersepakat dengan istilah
sukses yang ini. Bagi saya sukses itu relatif, dan setiap orang telah sukses
menjalani hidupnya bila tidak membuat susah dirinya, apalagi orang lain.
Jika kita lihat dari proses mencapai sesuatu yang diinginkan, dari
du konsep yang saya sebutkan di atas. keduanya 180 derajat berbeda. Pilih yang
mana? Bagi saya, menikah seharusnya memudahkan, seharusnya mengasyikkan. Karena
semuanya dijalani dengan penuh kebersamaan. Sehingga tidak perlu tunggu mapan
untuk menikah, lalu bahagia, dan tidak perlu tunggu tua, lalu menikah. Jika
kita bisa bahagia sekarang kenapa harus menunggu lama, nanti ?
-->
Comments
Post a Comment