Ada sebuah falsafah masyarakat kepulauan wakatobi, yang dahulu sejak kecil kita selalu diajarkan untuk belajar tidak hanya sekedar tulisan tetapi juga yang tidak tertulis, saya awalnya tidak memahami arti tersirat dari kata tidak tertulis. Sering kali kita mendengar kata bijak ini " Ara i sikola bara buntu i sikola ako the buri". setelah memahami lebih dalam dan meminta penjelasan dari falsafah ini. ternya petuah tersebut berarti " kalau kamu sekolah jangan cuma ilmu yang tertulis dalam buku pelajaran yang dipelajari, tapi ilmu sosial, bermasyarakat, bertatakrama juga perlu dipelajari. Jangan karena sekolah sudah tinggi, maka kamu lupa dengan tatakrama terhadap orang tua, kerabat dan lingkungan sosialmu. Sehingga sering juga muncut petuah "Mea na guna no na tosikola, ara buntu the buri na todahani". Yang bearti.....Pendidikan akademik kita, secerdas apaun kita, sehebat apapun kita, tapi jika ilmu yang tidak tersirat tata krama, tidak kita pegang teguh, maka tidak ada gunanya dimata masyarakat.
Pesan-pesan ini, selalu saya dapatkan pada paman-paman saya, Biasanya disampaikan saat acara-acara perkawinan. Soalnya saya dahulu orang galojo, biasa anak kecil.......suka mau makan duluan. Padahal orang lain belum makan. Sementara dari segi akademik selalu rengking 1 atau juara 1 di Sekolah. Namun itulah pesan tetua dari paman-paman saya, yang masih saya ingat. Bahkan masih sempat saya ingat suatu kejadian, dimana ada seorang warga dalam suatu acara makan-makan adat, berkata kepada saya "Wah,,,dia sudah makan, padahal orang belum makan, Padahal dia tidak ikut membantu ambil kayu....." lalu saya menangis.....Masa kecil.....saya paling tenar dengan Jago Nangis. Bahkan ada istilah julukan yang sering disampaikan tetangga "Kee Asa Kente Asa Tafo" yang berarti menagis dari surut hingga pasang air laut yang dalam tersiratnya adalah menanggisnya berjam-jam.
Memang menjadi adat budaya dikampung saya, bahwa.....dalam acara sosial entah itu perkawinan, kematian, suanatan dan lain-lain. Orang pertama yang harus mencicipi makanan adalah kaum adam "orang tua". Setelah orang tua "laki-laki" mencicipi makanan barulah kemudian kaum hawa "ibu-ibu" dan anak-anak boleh mencicipi makanan. Disaaat-saat pertemuan seperti itu, anak-anak mulai diajarkan etika dan memang sangat membekas, setelah kita besar. Kita mulai memahami budaya, tatakrama makan ditempat orang, menghargai orang tua serta belajar bertutur kata menggunakan pemilihan kata yang sopan kepada orang yang lebih tua. Misalnya untuk istilah kamu dalam bahasa wakatobi. Bahasa paling sopannya adalah "Ikomiu".....sangat tidak sopan kalau kita mengatakan "Ikoo"......Sebab kata ikoo hanya digunakan untuk teman sebaya atau yang lebih muda dari kita.
Begitupun dengan budaya makan, kita tidak boleh nambah porsi makan kalau orang belum makan semua, tidak boleh juga membawa makanan dari tempat acara, sekalipun acara syukuran.......sebab itu adalah budaya, sekaligus etika yang tidak tertulis. Sungguh, teguran-teguran paman saya dahulu, tetangga, keluarga, dan tante saya sejak kecil....masih terasa, dan membekas. Semoga kita tetap menjadi orang yang sopan, mengenal tata krama budaya kita masing-masing, Sebab budaya dan tatakrama umumnya tidak tertulis.
Semoga kita senantiasa menjedi manusia yang baik secara akademik, Namun juga tetap membaca ilmu yang tidak tertulis. Amin....!!!